Di jantung sunyi Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, Lamongan, Gunung Ratu menjulang tanpa congkak. Bukan tinggi yang membuatnya megah, melainkan napas sejarah yang terpatri dalam setiap undakan tangganya. Di lerengnya, waktu tak sekadar berlalu—ia bersemadi. Sebab di sanalah, masyarakat percaya, bersemayam seorang perempuan agung: Dewi Andongsari, yang diyakini sebagai ibunda Patih Gajah Mada.
Perjalanan menuju Gunung Ratu bukan sekadar ziarah fisik, melainkan perjalanan batin yang sunyi dan dalam. Deretan pohon jati membentuk lorong hijau yang teduh, seperti para leluhur yang berbaris menjaga gerbang masa lalu. Setibanya di kaki tangga, para pengunjung berhenti sejenak—berdoa dengan khidmat, seolah meminta izin pada semesta sebelum menapak jejak yang dikeramatkan.
Tangga batu itu memeluk langkah demi langkah, membawa para peziarah menuju pendopo yang sederhana namun sakral. Di puncaknya, berdiri patung Gajah Mada—gagah dan membisu, dikelilingi dupa yang mengepul seperti kabut kenangan. Inilah gerbang menuju makam Dewi Andongsari, yang juga dikenal sebagai Dewi Tribuaneswari atau Indreswari, selir dari Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Konon, Dewi Andongsari terusir dari keraton dalam keadaan mengandung. Dalam pelariannya, ia hanya ditemani dua hewan kesayangan yaitu Kucing Condromowo dan Garangan Putih—yang kemudian turut diabadikan dalam paseran di sekitar lokasi. Di sini, bukan hanya manusia yang diingat sejarah, tetapi juga kesetiaan binatang yang menjadi saksi.
Arsitektur bangunan tampak baru direnovasi, namun tidak kehilangan jiwanya. Ukiran-ukiran khas Jawa menghiasi setiap sisi, seperti aksara tak tertulis yang menyuarakan kisah perih seorang perempuan, seorang ibu, yang kelak melahirkan pemersatu Nusantara.
Kala saya datang, Gunung Ratu tengah bersolek dalam kirab budaya Pengetan Suro yang digelar Paguyuban Budaya Wilwatikta. Aroma bunga dan dupa memenuhi udara. Suasana begitu syahdu—seperti ruang suci yang disusun oleh doa dan langkah yang penuh hormat. Semua peserta mengenakan pakaian hitam khas Jawa, dan sebelum menaiki tangga, sebuah ritual doa bersama dipimpin oleh tetua adat.
Di sudut tangga, tampak Mbah Sujono yang berpakaian serba hitam tanpa alas kaki dengan balutan belangkon dikepalanya dan tutur lembutnya menjelaskan bahwa Gunung Ratu bukan sekadar bukit, melainkan pusaka budaya, khususnya di kabupaten Lamongan. “Tempat ini adalah cerita dan bagian penting dsri kabupaten Lamongan,” ucapnya lirih.
Kehormatan itu pun dijaga oleh generasi muda. Seorang guru dari SDN 4 Sendangrejo, Istanawati Ningsih yang hadir bersama rombongan murid-murid kelas 2 hingga kelas 5, sekitar 33 anak. Mereka berpakaian adat Jawa, mendengarkan kisah sejarah dengan sorot mata yang menyala. Sang guru berujar, “Banyak orang luar yang mengerti tentang cerita tempat ini, maka dari itu kami ingin anak-anak kami yang merupakan warga desa Sendangrejo tidak ketinggalan,” tegas Ningsih.
Prosesi kirab berlangsung dengan urutan sakral. Dimulai dari penceritaan kisah Dewi Andongsari, iring-iringan membawa tombak dan ancak, lalu ditancapkannya tiga tombak oleh Bupati Lamongan, Yuhronur Efendi. Tiga bendera berkibar, menjadi lambang sinergi antara rakyat, budaya, dan pemerintahan. Sungkeman di makam pun dilakukan dengan tertib, dilanjutkan dengan pembawaan 30 kendi berisi air dari tujuh mata air sendang di kaki gunung menjadi sebuah ritual simbolis yang menyatu dalam doa.
Gunung Ratu adalah altar dari masa silam. Di sinilah air mata sejarah mengendap menjadi telaga ketenangan. Di sinilah doa-doa menggumpal dalam kabut dupa, dan budaya berpijar dalam langkah yang tertata. Masyarakat sekitar percaya bahwa, Gunung Ratu bukan hanya makam seorang perempuan agung, tetapi juga tugu sunyi dari kebesaran yang lahir dari pengasingan.
Gunung Ratu, tempat Ibunda Patih Gajah Mada bersemayam, adalah pusaka jiwa yang hidup dalam diam.
Sumber : kabarbaik.co